
Akulturasi,
JAKARTA – Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) akan bertemu para pengusaha
nikel
untuk membahas penyesuaian tarif
royalti
mineral dan batubara (minerba)
Pertemuan dilakukan untuk berdiskusi menyusul keberatan pengusaha atas penyesuaian tarif
royalti nikel
. Adapun, penyesuaian tarif royalti itu direncanakan berlaku mulai pekan kedua April ini.
Dirjen Minerba Kementerian ESDM Tri Winarno mengatakan, pertemuan dengan para pengusaha nikel itu akan berlangsung pada Kamis (17/4/2025) mendatang.
“Jelas saja, kita akan mengadakan pertemuan besok pada hari Kamis, kurang lebih seperti itu,” ujar Tri di Kantor Kementerian ESDM, Senin (14/4/2025) malam.
Dia mengatakan bahwa pembicaraan tersebut akan mencari solusi untuk menjaga keuntungan pelaku usaha walaupun tarif royaltinya meningkat. Tri pun menegaskan ia akan memperhatikan saran yang disampaikan oleh para pebisnis nikel.
“Minggu depan akan kami bahas tentang bagaimana agar hal ini masih terjamin keadilan untuk semua pihak. Mungkin ada baiknya jika tarifnya disesuaikan dengan cara yang tepat sehingga laba para pelaku usaha tetap memuaskan namun royaltinya meningkat,” urai Tri.
Kenaikan tarif royalti minerba akan menyasar batu bara, nikel, tembaga, emas, perak, dan logam timah. Besaran kenaikannya diperkirakan berada dalam kisaran 1% hingga 3% dan akan bersifat fluktuatif, menyesuaikan dengan harga komoditas di pasar.
Kebijakan itu akan diambil oleh pemerintah demi meningkatkan penerimaan negara bukan pajak (PNBP). Sebelumnya, Menteri ESDM Bahlil Lahadalia menyebut, kebijakan itu akan berlaku pada pekan kedua April 2025.
Dia mengatakan, revisi peraturan pemerintah (PP) terkait tarif royalti minerba telah rampung. Adapun, revisi PP yang dimaksud adalah PP Nomor 26 Tahun 2022 tentang Jenis dan Tarif atas Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak Yang Berlaku pada Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral. Lalu, PP Nomor 15 Tahun 2022 tentang Perlakukan Perpajakan dan/atau PNBP di Bidang Usaha Pertambangan Batubara.
“Bulan ini sudah berlaku efektif. Minggunya, mungkin minggu kedua sudah berlaku efektif dan sudah tersosialisasikan,” kata Bahlil di Kantor Kementerian ESDM, Rabu (9/4/2025).
Namun, para pengusaha nikel merasa keberatan dengan rencana tersebut. Mereka pun meminta pemerintah menunda kenaikan tarif royalti nikel.
Asosiasi Pertambangan Indonesia (API) mengungkapkan bahwa implementasi tarif royalti yang diperbarui saat ini dalam kondisi pelemburan perdagangan bisa membebani sektor pertambangan dan justru tidak mendukung ekonomi domestik.
IMA juga menginginkan pihak pemerintah bersedia untuk membahas kembali tentang penetapan tarif royalti yang baru tersebut. Terlebih lagi, hingga sekarang ini, para pemilik bisnis masih belum mendapatkan rancangan akhir dari penyempurnaan tarif royalti pertambangan mineral dan batubara.
“Saat sebagai mitra pemerintah, para anggota IMA pastinya akan menaati aturan tersebut. Akan tetapi, kami berharap agar dapat diulas kembali mengingat kondisi perang perdagangan yang sedang terjadi,” ungkap Direktur Eksekutif IMA Hendra Sinadia dalam wawancara dengan media.
Bisnis
, pekan lalu.
Menurut dia, menghadapi tekanan dari perang dagang, sektor pertambangan harusnya menerima dukungan dari pemerintah bukannya ditambah beban dengan kenaikan tarif royalti.
Ternyata, sektor pertambangan dan mineral tidak secara langsung dipengaruhi oleh keputusan tariff dari Presiden AS Donald Trump. Situasi ini menurut Hendra, semestinya bisa dianggap sebagai kesempatan bagi Indonesia untuk meningkatkan ekonomi negara mereka.
Dalam situasi perang tarif, sebenarnya industri pertambangan kita tidak mengalami dampak langsung, oleh karena itu memiliki potensi untuk mendukung ekonomi negara. Pelaku bisnis memerlukan dukungan dan harus dihindarkan dari peningkatan royalti, demikian kata Hendra.
Sambil menggoyangkan rambutnya, Ketua Umum Forum Industri Nikel Indonesia (FINI), Alexander Barus, menyatakan bahwa usulan peningkatan tarif royalti untuk produk nikel harus dipertimbangkan dengan seksama. Terlebih lagi, nilai jual nikel sedang merosot drastis karena dampak dari ketegangan geopolitik serta persaingan perdagangan di antara Amerika Serikat dan Tionghoa.
Dia menjelaskan bahwa harga nikel global telah mengalami penurunan yang signifikan yaitu 16% selama satu bulan terakhir dan 23% pada enam bulan belakangan ini, mencapai angka US$13.800 per ton. Ini adalah nilai terendahnya sejak tahun 2020.
Alexander mengatakan bahwa penurunan tersebut terjadi seiring dengan perlambatan perekonomian global serta adanya ketegangan geopolitik, seperti perang dagang antara Amerika Serikat dan Tiongkok, yang turut mempengaruhi permintaan nikel di tingkat internasional.
Di waktu yang bersamaan, sektor nikel terpengaruh oleh peningkatan beban produksinya akibat regulasi dalam negeri seperti keluarnya ketentuan untuk meningkatkan upah minimum regional (UMR), implementasi B40, penyimpanan devisa hasil ekspor (DHE), serta adanya tarif pajak minimal global yang akan diberlakukan pada tahun 2025.
Maka dari itu, ia menganggap bahwa menyetel ulang tarif royalti nikel pada momen ini tidaklah sesuai.
“Kebijakan fiskal seperti peningkatan tarif royalti perlu disesuaikan dengan memperhatikan situasi pasar saat ini yang sedang menghadapi perlambatan harga sehingga tidak memberatkan para pemain industri dalam usaha untuk mendukung kelangsungan proses pengolahan nikel nasional,” kata Alexander lewat pernyataan resmi pada hari Sabtu (12/4/2025).