
JAKARTA, Akulturasi
Proyek penataan sungai Ciliwung yang bertujuan untuk memperkecil ancaman banjir di Jakarta sekali lagi terhenti.
Proyek ini mengalami hambatan di beberapa titik karena penentangan dari penduduk yang bertempat tinggal di area tepi sungai.
Walaupun projek ini sudah dimulai semenjak masa kepemimpinan Gubernur Joko Widodo, kemajuannya sampai saat ini masih sangat jauh dari kesempurnaan, terlebih lagi berkaitan dengan pemindahan lokasinya.
Kerjasama di antara Pemprov DKI Jakarta dan Kementerian Pekerjaan Umum (PU) mendasari projek ini.
Pemerintah Provinsi DKI Jakarta memiliki tanggung jawab dalam menertibkan konstruksi ilegal serta pengadaan tanah, sementara Badan Wilayah Sungai Ciliwung Cisadane (BWSSC) yang berada di bawah Departemen Pekerjaan Umum mengelola aspek fisik proyek tersebut.
Namun, dari total panjang proyek penormalan sebesar 33,69 kilometer, baru kira-kira 17,17 kilometer saja yang sudah tercapai kemajuan penyempurnaan.
Sebanyak 16,52 kilometer sisanya tertahan akibat penolakan masyarakat mengenai pengambilan tanah.
Pada fase persiapan, bukan tak mungkin ada warga yang enggan melepaskan lahan mereka untuk proses normalisasi,” ungkap Roedito Setiawan, kepala unit pengadaan tanah di Dinas Sumber Daya Air (SDA) Jakarta, ketika ditemui pada hari Senin, 14 April 2025.
Sejak awal, projek normalisasi ini sudah menemui banyak hambatan terutama pada tahap pemindahan penduduk. Pada masa kepemimpinan Gubernur Joko Widodo, strategi yang lebih berfokus pada aspek kemanusiaan dipilih sebagai prioritas utama.
Jokowi bertemu langsung dengan masyarakat, mengadakan dialog, dan menyajikan apartemen sebagai opsi tempat tinggal alternatif beserta dengan gantinya.
Ketika mengunjungi Kampung Pulo, Jokowi menekankan kembali pentingnya melakukan normalisasi.
“Normalisasi proyek ini sangat diperlukan. Namun, penting untuk memastikan bahwa tidak ada kekerasan selama prosesnya,” katanya pada hari Jumat (7/12/2012).
Jokowi juga menggarisbawahi pentingnya masa yang cukup panjang untuk melengkapi normalisasi, khususnya di sejumlah sungai lainnya, walaupun tujuannya adalah mengerjakan proses tersebut dengan lebih cepat.
“Kalau dalam jangka panjang, memang normalisasi Kali Ciliwung, Pesanggarahan, Angke, dan Sunter tidak bisa ditawar lagi,” tambah Jokowi seusai meninjau banjir di Bukit Duri pada Senin (24/12/2012).
Pada era Gubernur Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok, pendekatan yang digunakan cukup berbeda. Ia mengutamakan ketegasan dan tindakan cepat.
Dengan dukungan aparat keamanan, Ahok melakukan penertiban kawasan sungai dari bangunan liar dan sampah secara masif.
Ahok pun turut memperdayakan peran TNI dalam penataan area sekitar sungai yang terbebas dari pembangunan ilegal dan limbah dengan mendatangkan Kepala Staf Kodam Jaya Brigadir Jenderal TNI Teddy Lhaksmana ke Balai Kota.
Tentara sudah terbiasa berperang, jadi jika harus membereskan sesuatu, mereka mengerjakannya dengan tertib dan baik. Kita ingin ‘membereskan’ (membersihkan sampah) dari Sungai Ciliwung,’ ungkap Ahok usai bertemu dengan Teddy pada Jumat (28/11/2014).
Ahok bertujuan agar proses normalisasi selesai pada tahun 2016 dan berupaya menuntaskan pengolahan 16 kilometer panjang jalan yang masih belum tersentuh.
“Ciliwung terpaksa menargetkan penyelesaian proyeknya hanya pada tahun 2016, baik suka atau tidak, disebabkan oleh permasalahan yang timbul dari para penduduk yang tinggal di dalam aliran sungai serta di jalur pemeriksaan,” ujarnya saat berada di Balai Kota Jakarta pada hari Senin (1/12/2014).
Pada tahun 2017, saat Anies Baswedan menjadi Gubernur Jakarta, dia mengenalkan metode baru yang disebut restorasi aliran sungai secara alami.
Tidak seperti normalisasi yang berpusat pada aspek teknikal dan penambangan, naturalisasi bertujuan untuk memulihkan fungsi ekologis dari sungai.
Anies menyatakan keinginannya agar proses naturalisasi dan normalisasi bisa dilakukan dengan seiring sejalur.
Wakil Gubernur Jakarta, Ahmad Riza Patria, menggarisbawahi bahwa perlu dihindari pembandingan antara kedua program tersebut.
“Maka tak perlu ada perbandingan, keduanya memiliki sasaran serta niat yang positif,” ujarnya di Balai Kota, Jakarta Pusat, tanggal 19 Oktober 2020.
Menurut Riza, tugas penormalan 13 sungai di Jakarta adalah tanggung jawab dari pemerintahan nasional. Di sisi lain, proyek penghijauan sungai menjadi urusan Pemprov Jakarta.
Sayangnya, saat Anies memimpin, upaya pembebasan tanah untuk normalisasi kehilangan dukungan yang diperlukan, membuat kemajuan proyek menjadi tertahan.
Dibawah kepemimpinan Gubernur Pramono Anung, Pemerintah Provinsi DKI Jakarta mencoba untuk membangkitkan kembali program penormalan sungai Ciliwung dengan cara yang lebih peduli pada manusia.
Pramono menggaransi bahwa proses normalisasi akan terus berlangsung tanpa adanya evakuasi paksa.
“Pada proses normalisasi kali ini, kita sungguh-sungguh akan menerapkan pendekatan yang lebih humanis terhadap para warga. Kami bertindak sesuai prinsip bahwa tindakan pemukiman paksa tidak akan dilakukan,” jelasnya saat mengikuti rapat koordinasi bersama Kementerian PUPR dan Kementerian ATR/BPN pada hari Kamis tanggal 13 Maret 2025.
Pramono percaya bahwa jika pendekatan ini sukses, risiko banjir di Jakarta bisa dikurangi sampai 40 persen.
Untuk merealisasikan target tersebut, Pemprov Jakarta bekerja sama dengan Kementerian PU dan Kementerian ATR/BPN guna melakukan pembebasan lahan di sepanjang Sungai Ciliwung. Namun proses ini kembali terkendala penolakan warga.
Kepala Unit Pengadaan Tanah Dinas Sumber Daya Air (SDA) Jakarta Roedito Setiawan menjelaskan, dari total 33,69 kilometer, masih ada 16,52 kilometer lahan yang belum dibebaskan.
Menurut Roedito, pembersihan lahan dilaksanakan secara bertahap berdasarkan ketentuan hukum yang berlaku.
“Pelaksanaan pembelian lahan berlangsung melalui empat fase, yakni perencanaan, persiapan, implementasi, serta penyampaian hasil,” jelas Roedito ketika dihubungi pada hari Senin (14/4/2025).
Dia menyinggung bahwa proses penghapusan hak atas tanah merujuk kepada UU No. 2 tahun 2012 terkait pemberian tanah untuk pembangunan demi kepentingan umum, bersama dengan Peraturan Pemerintahan No. 19 tahun 2021 yang sudah dimodifikasi lewat PP No. 39 tahun 2023.
Apabila terdapat penolakan lebih lanjut, Pemerintah Provinsi akan menyelenggarakan konsultasi masyarakat lagi. Jika penduduk tetap tidak setuju, maka sebuah tim pemeriksaan sanggahan akan didirikan guna memeriksa alasannya.
“Tetapi jika masih terdapat pihak yang menolak, maka Pemerintah Provinsi DKI akan membentuk tim untuk mengkaji penolakan tersebut,” jelas Roedito.
Saat ini, perhatian semua orang terfokus pada cara Pendayagunaan Provinsi DKI Jakarta menghadapi masalah-masalah yang telah bertahan selama lebih dari sepuluh tahun lamanya dengan pendekatan barunya.