
JAKARTA, Akulturasi
– Proyek Strategis Nasional (PSN) Wilayah Pertanian Merauke di Papua Selatan diklaim menyalahi Hak Asasi Manusia (HAM).
Franky Samperante, koordinator dari Solidaritas Merauke, menyebut bahwa PSN Merauke dituduh belum mempunyai dokumen terkait lingkungan serta persetujuan pengelolaan lingkungan yang sah.
Menurutnya, masyarakat yang terpengaruh secara langsung serta organisasi-organisasi lingkungan hidup belum diajak berpartisipasi sejak dini dalam membahas kerangka acuan dan melakukan evaluasi AMDAL. Mereka juga belum memperoleh informasi mengenai dokumen lingkungan tersebut, seperti dijelaskan pada pernyataan resmi, Selasa (15/04/2025).
Temuan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) menguatkan adanya indikasi pelanggaran HAM terkait dengan proyek-proyek PT Perkebunan Nusantara (PSN). Temuan ini menunjukkan bahwa proyek PSN dalam bidang ketahanan pangan dan energi di wilayah Merauke berpotensi melanggar hak asasi manusia.
Temuan Komnas HAM tersebut tercantum dalam surat rekomendasi yang dikeluarkan oleh Komnas HAM untuk PSN Merauke dengan nomor 189/PM.00/R/III/2025. Surat rekomendasi ini dikirimkan ke Gubernur Papua Selatan serta Bupati Merauke pada tanggal 17 Maret 2025.
Surat itu menanggapi keluhan dari komunitas asli suku Malind, Maklew, Khimaima, dan Yei yang diajukan pada tanggal 23 Oktober 2024 tentang potensi pelanggaran hak-hak mereka sebagai masyarakat adat. Keluhan ini berkaitan dengan hak untuk hidup, hak atas tanah dan wilayah tradisional, hak ekonomi, serta hak atas lingkungan sekitar yang disebabkan oleh implementasi Proyek Strategis Nasional (PSN) di kabupaten Merauke, Papua Selatan.
Selanjutnya, Komnas HAM mengajukan permohonan klarifikasi kepada Kementerian ATR/BPN, Kementerian Kehutanan, Pemerintahan Provinsi Papua Selatan, Pemerintah Kabupaten Merauke, serta Panglima TNI dengan menggunakan surat bernomor 976/PM.00/SPK.01/XI/2024 yang dikirim tanggal 18 November 2024.
Surat dari Komnas HAM mengungkapkan 13 poin utama, termasuk fakta bahwa PSN Merauke meliputi area dengan luas sekitar dua juta hektar, mayoritasnya terletak pada hutan serta daerah adat di beberapa distrik seperti Tanah Miring, Animha, Jagebob, Eligobel, Sota, Ulilin, Malind, dan Kurik.
Adapun kawasan hutan dan wilayah adat tersebut termasuk hutan sagu, hutan alam dan rawa-rawa, yang menjadi sumber penghidupan masyarakat adat.
Hasil penelitian dari Komnas HAM mengindikasikan bahwa status sah hak ulayat tetap diragukan sebab sampai saat ini baru berdasar pada petaan partisifatif tanpa adanya dasar hukum yang resmi dan kuat.
Meskipun pemerintah telah mengalokasikan zona kon sesi untuk perkebunan pada lahan hutan produksi yang bisa dikonversi (HPK) serta memperuntukkan wilayah pertanian dalam batas hak pengguna lain (HPL), partisipasi masyarakat adat sampai saat ini masih kurang signifikan.
Sejumlah perusahaan sudah mendaftar dan mendapatkan izin Hak Guna Usaha (HGB), termasuk PT Global Papua Abadi serta PT Murni Nusantara Mandiri, keduanya aktif dalam sektor energi dan pertanian di wilayah Distrik Tanah Miring dan Jagebob.
Hasil penyelidikan Komnas HAM menunjukkan bahwa komunitas adat belum pernah dimintai pendapatnya terkait dengan penetapan HPK dan HPL. Sementara itu, wilayah ini sebenarnya menjadi bagian dari hak warisan mereka, serta harus melibatkannya dalam pembuatan rancangan strategi untuk pertanian jangka panjang yang ramah lingkungan.
Masyarakatan asli mengalami tantangan untuk mendapatkan pengesahan atas hak tanahnya lantaran kurang ada aturan spesifik tentang status hukum dari hak ulayat tersebut.
Di samping itu, Komnas HAM juga mengkritisi peran TNI dalam kejadian di Merauke. Di daerah Ilwayab, sekitar 300 mesin konstruksi ditempatkan dengan bantuan kapal laut dan helikopter, bersama-sama dengan pasukan TNI. Selanjutnya, ada pula 11 titik pengamatan militer yang memantaui proyek tersebut, menyebabkan rasa takut bagi penduduk asli setempat.
Meskipun alasan utama penempatan pasukan ini adalah sebagai tenaga pendukung PSN, hal itu justru menimbulkan ketegangan. Penempatan pasukan dalam jumlah besar menambah rasa ketakutan masyarakat adat, yang merasa diawasi, adanya ancaman kekerasan fisik dan intimidasi terhadap warga.
“Dugaan perampasan dan penyerobotan kawasan hutan serta lahan ulayat milik masyarakat adat tersebut berdampak langsung terhadap kelangsungan hidup mereka,” kata Ketua Komnas HAM Atnike Nova Sigiro.